4 Hal Yang Perlu Direfleksikan Guru Indonesia | Inspirasi Zenius

Halo semuanya, selamat Hari Pendidikan Nasional! Pada kesempatan kali ini, saya ingin sedikit berbagi pandangan tentang dunia pendidikan, khususnya peran guru dalam proses belajar siswa. Sebelum di Zenius, saya sempat berkecimpung di dunia pendidikan selama 5 tahun, baik sebagai mahasiswi jurusan pendidikan, guru, dan juga wali kelas. Nah, berdasarkan dari pengalaman tersebut, dalam peringatan hari pendidikan nasional kali ini, saya mau sedikit berbagi pandangan dan pengalaman saya tentang dunia pendidikan Indonesia secara umum, khususnya peran guru dalam mengajar.
Ngomong-ngomong soal hari pendidikan, biasanya peringatan hari pendidikan itu jadi moment untuk memberikan dukungan kepada profesi guru sekaligus sebagai bentuk apresiasi terhadap peran dan kontribusi guru dalam mendidik dan membangun generasi yang lebih baik. Memang nggak bisa dimungkiri, peran guru sangatlah besar dalam kehidupan sosial bermasyarakat, terutama untuk membangun peradaban dan generasi masa mendatang yang lebih baik. Nah, justru karena peran besarnya itulah... pada peringatan hari pendidikan nasional ini, saya ingin mencoba mengajak kita semua (khususnya para guru) untuk merefleksi bersama, terutama tentang sejauh mana peran seorang guru dalam membangun semangat belajar kepada para muridnya.
Hari pendidikan nasional
Mungkin sudah bukan hal baru lagi kalo saya mengatakan bahwa profesi guru masih dipandang sebelah mata di Indonesia. Sedikit-banyak mungkin karena masyarakat Indonesia umumnya beranggapan bahwa tugas seorang guru hanya sekadar mengajar di depan kelas dan memberi tugas kepada murid. Tapi menurut saya pribadi, tugas utama seorang guru bukan hanya mengajar, tapi juga memberi contoh, inspirasi, dan yang paling penting adalah membuat murid senang belajar serta menikmati proses belajar itu sendiri.
Dalam perspektif ini, saya berpendapat bahwa tolak ukur keberhasilan seorang guru itu bukan ditentukan oleh kepala sekolah maupun orangtua, tapi justru oleh murid-muridnya. Keberhasilan guru utamanya tercermin pada perubahan positif yang dialami oleh murid-muridnya. Perubahan positif itu bisa jadi macam-macam indikatornya, dari mulai pemahaman murid akan materi pelajaran, rasa antusias murid dalam mengikuti proses pembelajaran, dan yang paling penting adalah sejauh mana murid menikmati proses belajar yang dijalaninya tersebut.
Sayangnya, dari pengalaman saya berkecimpung di dunia pendidikan (baik sebagai siswi, mahasiswi, maupun guru), tidak semua guru sepakat dengan pandangan saya di atas. Maksudnya, masih banyak guru yang tidak menjadikan "antusiasme murid dalam belajar" sebagai tolak ukur utama dalam proses mengajar ; tapi justru menciptakan semacam sistem yang membuat murid-murid belajar dengan penuh keterpaksaan, seperti pemberian tugas dengan porsi yang tidak wajar, memberi sanksi dan hukuman dengan cara yang kurang tepat sasaran, dsb.
Dalam prakteknya, saya yakin setiap guru memiliki niat dan tujuan yang baik dalam mendidik murid, saya juga mengerti bahwa setiap guru memiliki style dan caranya masing-masing dalam menjalankan perannya sebagai pendidik. Saya sungguh sangat memahami itu karena biar bagaimanapun saya sendiri pernah menjadi seorang guru dan juga wali kelas. Namun terlepas dari itu, menurut saya ada beberapa 'style' cara mengajar yang saya kira perlu kita evaluasi lagi bersama. Karena saya khawatir, banyak guru yang mungkin tidak menyadari bahwa cara mengajar yang selama ini mereka terapkan itu kurang tepat dan bahkan berdampak negatif bagi para murid.
Okay, terlepas dari apakah pandangan saya ini tepat atau tidak, pada kesempatan kali ini saya hanya ingin berbagi pendapat dan pandangan saya lebih jauh tentang beberapa pendekatan guru dalam mengajar yang saya anggap keliru dan malah memberikan efek negatif terhadap murid-muridnya. Perlu saya tekankan bahwa mungkin beberapa pointdalam artikel ini adalah pendapat pribadi saya dan tidak mewakili sudut pandang Zenius secara umum. Semoga apa yang saya sampaikan dalam kesempatan ini, bisa menjadi refleksi kita bersama di hari guru nasional ini. Berikut adalah beberapa gaya pengajaran guru yang menurut saya keliru dan perlu kita refleksi ulang bersama:

1. Tugas dan PR yang tidak tepat

Sebagai seorang yang pernah menjadi guru, saya mengerti bahwa jam mengajar guru di sekolah terkadang terasa kurang untuk memastikan para murid untuk betul-betul memahami materi yang dibahas. Oleh karena itulah, guru memberikan PR atau tugas dengan harapan membantu para siswa memahami materi di luar jam kelas. Secara umum, tujuan guru memberikan PR/tugas kurang-lebih seperti ini:
  1. Mengevaluasi materi yang sudah dipelajari di kelas.
  2. Mendorong murid untuk berlatih mengerjakan soal.
  3. Mendorong murid untuk mendalami pemahamannya untuk topik tertentu.
Di satu sisi, saya juga mengerti maksud dan tujuan guru itu baik dalam memberikan PR atau tugas, tapi saya kira ada saatnya PR/tugas yang diberikan tidak memberi dampak positif bagi para siswa. Wah, memangnya ada ya kasus dimana tugas/PR yang tidak memberi dampak positif, contohnya seperti apa? Sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya, yang paling berhak mengevaluasi guru adalah murid-muridnya, jadi coba yuk kita lihat beberapa curhatan murid zenius di bawah ini:

klik gambar untuk memperbesar


Dari beberapa potongan curhatan murid zenius ini, ada beberapa hal yang menurut saya agak ironis. Kenapa ironis? Karena tidak sedikit siswa yang justru menganggap bahwa tugas dan PR itu adalah beban yang menghalangi mereka untuk BELAJARNah loh, padahal kan justru niat guru awalnya memberikan tugas itu supaya muridnya belajar, tapi dalam beberapa kasus malah menjadi halangan mereka untuk belajar.
Hal menarik berikutnya yang saya lihat adalah hasil survei zenius yang dilakukan pada 22 September 2014 hingga 15 Desember 2014 terkait persepsi siswa mengenai tugas yang diberikan guru mereka. Berikut adalah hasil 1340 responden pelajar dari berbagai pelosok Indonesia :

Survei zenius Sept - Okt 2014 terhadap 1340 responden siswa seluruh Indonesia terkait pemberian tugas oleh Guru.


Berdasarkan data di atas, kita bisa melihat bahwa sebetulnya sebagian besar siswa beranggapan bahwa tugas yang diberikan guru itu penting, tapi lucunya sebagian besar dari responden (dengan persentase yang sama yaitu 48%) juga berpendapat bahwa tugas dari guru itu membebankan. Dari sini, secara sederhana saya bisa mengambil kesimpulan bahwa sebetulnya sebagian besar siswa itu tidak bermasalah dengan adanya tugas dari guru, akan tetapi bentuk tugas/ jumlah / frekuensinya itulah yang menjadi masalah dan membebani siswa.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Oviedo Spanyol, tugas dan PR akan memberikan dampak positif yang signifikan bagi pemahaman siswa jika tugas dan PR tersebut dirancang agar siswa hanya membutuhkan waktu sekitar 60 menit dalam proses penyelesaiannya. Menurut penelitian tersebut juga, efektivitas tugas dan PR ini akan terus berkurang jika waktu penyelesaiannya lebih dari 90 menit. Penelitian lain yang dilakukan oleh Stanford Graduate School of Education juga menemukan bahwa mengerjakan PR dan tugas selama lebih dari tiga jam setiap harinya akan memberikan efek negatif baik secara mental maupun fisik.
Menyingkapi hal ini, saya pribadi berpendapat bahwa PR dan tugas itu bisa jadi hal yang positif, dengan catatan porsinya wajar. Jika ingin memberikan tugas dan PR yang cukup banyak, sebaiknya guru memperpanjang tenggat waktu penyelesaian tugas dan PR tersebut mengingat kemungkinan siswa mendapat tugas dan PR dari guru mata pelajaran lain. Akan jauh lebih baik lagi, jika guru bisa memberikan tugas yang justru bisa menjadi pemicu siswa untuk menikmati proses belajar itu sendiri, memberi tantangan yang menarik bagi siswa untuk mencari tau lebih jauh materi yang mereka pelajari, bukan justru menekan siswa untuk harus belajar.
Di sisi lain, saya juga tau bahwa tugas seorang pelajar ya memang belajar. Tapi perlu kita sadari juga, bahwa definisi "belajar" bagi anak-remaja tidak hanya sebatas pada dinding ruang kelas, PR, atau tugas dari sekolah saja. Saya percaya, ada banyak hal di luar sana yang bisa menjadi bahan pembelajaran bagi siswa, di luar konteks akademis, seperti bersosialisasi, membaca, menonton film yang bermanfaat, berinteraksi lingkungan sosial, dsb. Intinya, jangan sampai jumlah/frekuensi tugas yang diberikan oleh guru bukan memberikan dampak positif, tapi membuat siswa merasa jenuh, tertekan, dan malah tidak menikmati proses belajar itu sendiri.

2. Pendekatan cara mengajar yang kurang tepat

Mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa para siswa seringkali punya pandangan yang terpolarisasi terhadap cara mengajar guru-gurunya. Sederhananya, ada guru yang dipandang oleh para siswa sebagai guru yang cara ngajarnya asik, seru, mudah dipahami. Guru-guru seperti ini seringkali menjadi idola murid-murid bahkan jam pelajarannya ditunggu-tunggu oleh para siswa. Sementara itu, di sisi lain ada juga guru yang dipandang siswa sebagai guru yang cara mengajarnya membosankan, bikin ngantuk, materinya tidak menarik, dll. Dua bentuk polarisasi dari cara pandang siswa terhadap gurunya ini memang seringkali ada, bahkan bersifat kolektif. Kalo ada beberapa anak yang menganggap gurunya ini membosankan, masa satu kelas akan kompak menganggap guru tsb membosankan.
siswa bosan
Menjadi seorang guru, memang bukan perkara yang mudah. Walaupun guru memiliki niat baik untuk mengajar, mendidik, dan membagikan ilmunya... ada saja murid yang ngobrol sendiri, ada yang ngelamun, ada yang main hape, ada yang malah gambar-gambar, dsb. Hal ini tentu membuat guru merasa jengkel, tidak jarang guru memutuskan untuk mengambil jalan tegas pada segala bentuk tindakan yang tidak menghargai jalannya proses belajar mengajar. Di satu sisi, saya mengerti bahwa setiap guru ingin merasa dihargai, tidak terlepas juga dengan saya. Namun di sisi lain, saya kira kita jangan sampai hanya berhenti pada solusi memarahi siswa. Karena sedikit banyak, hal itu justru akan menambah parah polarisasi cara pandang siswa terhadap guru-gurunya. Udah gurunya membosankan, galak lagi. Lengkaplah sudah.

Saya rasa, ada banyak cara yang bisa digunakan oleh guru untuk bisa "menguasai kelas", membawa suasana belajar yang menarik, seru, dan menciptakan atmosfir belajar yang sehat bagi para siswa. Cara untuk menguasai audience memang tidak mudah. Terus terang, sampai saat ini pun saya masih perlu banyak belajar untuk bisa membuat nuansa belajar yang positif di kelas. Tapi, sedikit-banyak saya hanya ingin berbagi beberapa tips yang mungkin bisa jadi masukan bagi guru-guru lain. Moga-moga tips yang saya bagikan ini bisa berguna bagi rekan-rekan guru yang lain.

A. Bangun interaksi dan hubungan emosional dengan para murid di luar kelas

Saat menjadi seorang guru, saya selalu berusaha untuk tidak membatasi interaksi saya kepada murid dalam lingkup akademis saja; tetapi saya mencoba memasuki kehidupan mereka. Dari hanya sekadar mendengarkan keluhan dan curhatan mereka, makan bersama, atau bahkan menyempatkan diri bergaul dengan mereka di waktu luang... semua itu saya rasa sangat membantu saya untuk membangun nuansa belajar yang positif di kelas.
Dengan membangun hubungan emosional dengan para murid, saya jadi jauh lebih mudah untuk menguasai kelas, berinteraksi langsung dengan murid yang saya anggap belum paham, membaca keinginan mereka, memahami cara mengajar seperti apa yang diharapkan oleh mereka, dsb. Sebaliknya, mereka pun jadi jauh lebih menghargai saya ketika mengajar, mereka jadi merasa enggan untuk main hape, asik ngobrol sendiri, atau melakukan tindakan apapun yang menunjukan sikap tidak menghargai usaha saya di kelas. Saya percaya, di sekolah seorang murid memang perlu memahami pelajaran, sementara seorang guru perlu memahami murid-murid mereka.

B. Fokus pada bagaimana cara membuat siswa menikmati proses belajar

Menurut pendapat saya pribadi, tugas seorang guru bukan hanya mengajar, tapi yang lebih penting adalah membuat murid-muridnya suka belajar. Hal ini mungkin terkesan sepele, tapi menurut saya cara pandang seperti ini krusial sekali dengan bagaimana cara guru membawa materi di kelas.
Dari pengalaman saya menjadi murid, seorang guru yang berfokus hanya pada konteks "mengajar", mentrasfer ilmu pada murid-muridnya, membawa misi agar murid-muridnya mampu mengerjakan soal... seringkali justru kurang berhasil membawa suasana kelas yang positif dan bersemangat untuk belajar. Di sisi lain, seorang guru yang fokus untuk membangun nuansa belajar yang positif dulu di awal, bercerita dulu tentang berbagai contoh nyata yang menggambarkan kenapa materi tersebut penting untuk dikuasai, kenapa materi itu menarik dan seru untuk dibahas... guru semacam ini lebih bisa membangun nuansa kelas yang siap menerima pengajaran, sehingga proses belajar-mengajar jadi lebih menyenangkan, seru, menarik, tidak membosankan, dan para siswa jadi lebih termotivasi belajar.

3. Memberi hukuman yang tidak menyelesaikan masalah.

Menjadi guru memang bukan pekerjaan yang mudah. Butuh kesabaran yang luar biasa untuk dapat mengendalikan emosi dalam mengontrol para siswa. Dari pengalaman saya menjadi guru dan wali kelas, memang selalu ada-ada saja ulah murid yang menjengkelkan, dari yang sering terlambat, bikin ribut di kelas, menyontek, lupa mengerjakan PR, dsb. Dalam hal ini, saya mengerti jika guru menggunakan metode hukuman untuk dapat lebih mudah mengontrol, mengendalikan perilaku siswa, sekaligus memberikan efek jera dan bentuk peringatan bagi anak-anak yang lain. Di satu sisi, hukuman memang cara yang paling praktis untuk membuat siswa berhenti melakukan kenakalan. Namun di sisi lain, apakah hukuman yang diberikan betul-betul dapat menyelesaikan masalah?
Seorang psikolog klinis dari Columbia University, Laura Markham, mengatakan bahwa hukuman tidak selalu mampu mengubah anak didik menjadi lebih baik, terutama untuk jangka panjang. Sebaliknya, menurut pendapat Laura, hukuman dari pihak otoritas (guru / orangtua) malah bisa membuat pihak terhukum merasa rendah diri, hilang kepercayaan, kerenggangan hubungan emosional, perasaan untuk terus memberontak, bahkan memicu kebohongan-kebohongan untuk menutupi kesalahan lainnya. Saya pikir, hal ini juga bisa jadi relevan dalam konteks hubungan guru dengan murid. Bentuk hukuman yang tidak tepat sasaran bisa berpotensi membuat siswa untuk bersikap antipati terhadap guru, bahkan membenci mata pelajaran yang diajarkan.
Dalam konteks ini, saya pribadi berpendapat bahwa sebagai guru, kita perlu mengevaluasi penerapan "hukuman" sebagai alat kontrol di dalam kelas. Terutama pada siswa yang sedang dalam umur-umur krusial untuk menumbuhkan rasa kecintaan mereka terhadap sebuah ilmu. Saya pribadi sebetulnya kurang sepakat dalam bentuk hukuman yang kurang relevan pada penyelesaian masalah. Seperti contohnya : berdiri di depan kelas dengan satu kaki, lari keliling lapangan 10 keliling, mencabuti rumput, hormat di depan tiang bendera selama berjam-jam, menulis berulang kalimat "aku tidak akan terlambat" sebanyak 100x, dan bentuk hukuman sejenisnya yang tidak berfokus pada penyelesaian masalah.
Dalam hal ini, bukan berarti saya berpendapat bahwa tindakan menghukum itu sama sekali tidak perlu. Memberi hukuman bisa jadi tepat jika proses itu memberikan pengertian bagi siswa bahwa tindakan dia itu keliru. Berilah hukuman jika itu membuat siswa memahami konsekuensi dan risiko yang relevan dari tindakannya. Akan jauh lebih baik lagi, jika bentuk hukuman, teguran, sanksi, atau perintah dari guru tersebut berorientasi pada penyelesaian akar masalah yang sesungguhnya, bukan sekadar menjadi bentuk cara untuk mengontrol, memberi efek jera, memberi contoh pada siswa lain, apalagi hanya untuk sekadar melampiaskan emosi dan kejengkelan terhadap murid tersebut.
siswa dihukum
Saya pribadi dalam prakteknya lebih menyukai pendekatan personal bagi setiap siswa yang bermasalah. Jika saya menemukan ada murid yang (katakanlah misalnya) sering terlambat, biasanya saya panggil untuk mengetahui akar permasalahannya. Jika ternyata akar masalahnya itu karena siswa tersebut memiliki kesulitan mengatur pola tidur, maka saya akan mencoba untuk membantu memberikan arahan, saran, atau mungkin perintah yang intinya berfokus untuk memberikan solusi terhadap siswa tersebut. Karena saya kira, memberi hukuman hormat tiang bendera selama berjam-jam tidak akan membantu memberi solusi dan menyelesaikan masalah seorang anak yang punya kesulitan mengatur pola tidur.

4. Sikap antikritik dan tertutup pada evaluasi

Point terakhir yang mau saya sampaikan adalah hal yang saya kira perlu kita semua renungkan, termasuk untuk diri saya sendiri. Menjadi seorang guru terkadang membuat diri kita selalu berada dalam posisi yang 'dominan' di depan kelas. Sehingga tidak jarang hal ini menumbuhkan sikap antikritik, tertutup pada evaluasi, bahkan merasa diri paling mengerti "caranya mengajar" karena pengalaman mengajar yang lama. Pada kesempatan ini, saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita semua adalah manusia biasa, yang tentu tidak luput pada kekeliruan. Oleh karena itu, saya kira peran seorang guru (yang notabene sangatlah penting) juga perlu diiringi rasa keterbukaan untuk dapat terus mengevaluasi diri dan terbuka pada kritik.
Saya tau bahwa memang setiap guru memiliki cara yang unik dalam mengajar. Ada yang pembawaannya cenderung serius, ada yang sambil bercanda, ada yang cuma duduk di kursi sepanjang jam pelajaran berlangsung, ada yang kalo ngajar nggak bisa diem, ada yang lebih suka menjelaskan secara satu arah, ada yang cenderung mengajak 2--3 orang siswa berinteraksi, ada yang suka mengajak seluruh kelas berdiskusi, dsb. Sebetulnya bagi saya, tidak masalah cara mengajar guru itu seperti apa, selama tujuan proses mengajar itu tercapai, yaitu siswa dapat memahami materinya dan juga menikmati proses belajar itu sendiri.
Masalahnya, agar tujuan dan proses mengajar itu tercapai... saya kira semua pendidik, tidak terkecuali (termasuk saya sendiri) rasanya perlu berani untuk mengevaluasi dirinya sendiri. Karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa, tidak semua style mengajar guru itu sukses dalam membuat murid paham dan menikmati proses belajar. Sayangnya, beberapa kasus yang saya perhatikan, ada saja oknum guru yang memiliki sikap antikritik, terutama jika mereka merasa sudah memiliki pengalaman mengajar yang jauh lebih lama daripada rekan-rekan guru yang lain.
Menurut pendapat saya, sikap seperti inilah justru yang bisa menjadi masalah yang fatal dalam dunia pendidikan kita. Karena bagi seseorang tertutup pada evaluasi, boleh jadi mereka memiliki pengalaman mengajar yang lama, tetapi sebetulnya, mereka hanyalah mengulang pola mengajar yang keliru dan itu terus berulang selama bertahun-tahun lamanya.
Untuk melahirkan generasi penerus yang lebih baik, saya kira para tenaga pendidik perlu memiliki sikap terbuka pada kritik dan evaluasi. Apakah cara mengajar kita selama ini sudah tepat? Apakah cara kita mengajar mampu membuat siswa paham dengan materi yang dipelajari dan menikmati proses belajar?
Untuk membantu proses evaluasi diri guru, para siswa juga diharapkan berperan di dalamnya. Tolak ukur keberhasilan guru dalam mengajar adalah siswa. Jadi kalau kita ingin mengetahui sudah sejauh mana keberhasilan kita dalam mengajar, tanya pendapat murid-murid kita ; bukan pendapat kepala sekolah, bukan pendapat orangtua, bukan siapa-siapa melainkan murid kita sendiri. Bagikan angket anonim yang berisi pertanyaan tentang kesan/cara mengajar kita selama ini. Saya percaya jika setiap pendidik memiliki keterbukaan pada kritik dan saran, maka kualitas guru di Indonesia akan semakin baik.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Itulah kurang lebih, beberapa pendapat dan pandangan saya tentang permasalahan dan tantangan yang kita hadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya peran guru dalam mengajar di sekolah. Dalam hal ini, saya pribadi tentu masih jauh dari sempurna. Masih ada banyak hal yang perlu saya evaluasi dan tingkatkan terkait kompetensi saya dalam mengajar. Tapi melalui artikel ini, saya harap bisa mendapatkan kesempatan untuk sekadar berbagi pendapat dan pandangan dalam dunia mengajar bersama rekan-rekan guru, maupun para siswa di seluruh Indonesia.
Tentu apa yang saya bagikan melalui artikel ini, tidak terlepas dari pandangan subjektif saya yang masih sangat mungkin bisa keliru. Oleh karena itu, saya berharap akan adanya diskusi yang sehat, masukan, pendapat atau gagasan lain, dan evaluasi dari pembaca sekalian. Terlepas dari itu, semoga apa yang saya sampai di sini dapat menjadi masukan dan manfaat bagi dunia pendidikan, khususnya para rekan-rekan guru dari seluruh Indonesia.
Akhir kata, di hari pendidikan nasional ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pendidik di mana pun kalian berada. Tetaplah berkarya dan berjuang demi kemajuan ilmu pengetahuan, bangsa, dan negara. Selamat Hari Pendidikan Nasional ! ðŸ™‚
Sumber :
Copy Dari https://www.zenius.net/blog/9573/cara-mengajar-guru-indonesia

0 Comments

Posting Komentar