Demi Masa Depan Penerus Bangsa, Yuk Pahami Kompetensi Kepribadian Guru


Hai, guru-guru Quipperian! Bagaimana persekolahan dan KBM menjelang tutup semester I? Semoga setiap KBM guru-guru Quipperian senantiasa lancar dan terus memotivasi murid-murid untuk menjadi murid yang tekun, reflektif, dan seimbang, ya.

Bukan hanya menjadi siswa-siswi yang terpacu mendapatkan nilai yang bagus dan pencapaian-pencapaian tinggi, tapi juga menjadi insan yang dewasa dan berempati sosial tinggi. Keseimbangan antara kualitas akademik dan kualitas kepribadian ini tentu menjadi sasaran kita semua.

Nah, sebagaimana kualitas kepribadian murid menjadi salah satu sasaran ajar sekolah, demikian juga dari seorang guru dituntut suatu kompetensi kepribadian yang mumpuni. Hal ini tertuang baik dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan juga PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Disebutkan di dalam PP No. 19 bahwa kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Kira-kira maksud lebih jelasnya apa, ya? Berkaca dari ragam kasus di dalam persekolahan nasional, apa definisi tersebut berhasil menjadi standar acuan guru?

Dalam Quipper Blog  kali ini guru-guru Quipperian akan diajak memahami lebih dalam apa kompetensi kepribadian tersebut. Dengan harapan bukan saja guru-guru akan semakin berkualitas kompetensi kepribadiannya, namun lebih jauh kompetensi kepribadian generasi muda peserta didik bangsa juga lebih lanjut terpengaruhi. Siap semua? Mari, kita pelajari bersama kompetensi kepribadian guru.

Rumitnya Kompetensi Kepribadian Guru
Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjelaskan bagaimana bahwa kompetensi kepribadian adalah salah satu dari empat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru. Selanjutnya di dalam di dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 dijelaskan bahwa kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian (guru) yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia.

Namun persis di sinilah kerumitan dimulai. Apabila kompetensi pedagogi dan profesional dapat diukur melalui praktik Ujian Kompetensi Guru (UKG), maka pemerintah justru belum mengembangkan wahana untuk menguji secara kredibel kompetensi kepribadian guru. Bambang Sumintono dan Nanang Bagus Subekti memaparkan bahwa dalam mempersiapkan diri menghadapi UKG, guru-guru dapat mendayagunakan wahana seperti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk mengasah penerapan teknik pendekatan belajar tertentu (pedagogi) di dalam suatu bidang studi (profesional).

Namun untuk kompetensi kepribadian dan sosial dari segi pemerintah tidak memiliki metode standarisasi yang ketat sehingga terkesan kedua kompetensi ini menjadi formalitas belaka. Dalam jangka panjang perlakuan pemerintah terhadap standarisasi kedua kompetensi ini dapat berujung penurunan kualitas kepribadian dan sosial, yang ditandai dengan sekolah menjadi tempat pelanggaran hukum.

Perlunya Kebangsaan di Dalam Kompetensi Ini
Ironisnya, tanda-tanda bahwa sekolah menjadi ladang persemaian praktik nir-hukum mulai terlihat. Bukan hanya sekadar perundungan, pelecehan seksual, kini sekolah mulai disinyalir menjadi tempat utama penyebaran paham intoleran. Survey PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017 dan publikasi Maarif Institute tahun 2018 mengonfirmasi temuan terakhir.

Berdasarkan temuan tersebut kita dapat mengambil saran dari pedagog Iwan Syahril yang mengemukakan bahwa kompetensi kepribadian guru dapat dilihat dari kemampuannya dalam:

Memeriksa secara kritis keyakinan tentang visi pendidikan dan pengajaran yang baik, terutama keyakinan yang bersumber dari pemahaman awam ala khalayak umum (self-reflection on inherited pedagogical paradigm).
Mengembangkan pemahaman tentang siswa, pembelajaran, dan hal-hal terkait kebangsaan dalam keberagaman/kebhinekaan (applying diversity-based learning and understanding).
Secara aplikatif contoh dari kedua praktis di atas dapat ditemukan pada sosok guru Ayu Kartika Dewi (beliau juga pendiri Sabang-Merauke), ketika beliau mengajarkan pada muridnya bagaimana keluarganya berbhineka secara toleran. Singkat kata, jika kita bingung membaca pemaparan tentang kompetensi kepribadian yang demikian mengawang-awang, maka praktiknya sebagaimana di atas adalah:

Kritis kepada bias pendapat pribadi kita, pilih yang mana fakta dan yang mana opini pribadi.
Kenali, apresiasi, dan pahami nilai-nilai yang dianut murid-murid kita.
Ajak murid-murid mengenali, mengapresiasi, dan memahami nilai-nilai beragam suku di Indonesia, tanpa menghakimi namun tetap menghormati batasan nilai yang dianut pribadi kita.
Nah, bagaimana rekan-rekan guru sahabat Quipperian? Semoga bahasan Quipper Blog edisi ini membantu rekan-rekan guru untuk lebih memahami apa kompetensi kepribadian guru dan lebih jauh mencerahkan pemahaman akan bagaimana rekan-rekan guru dapat mengembangkan lebih jauh kompetensi tersebut. Tidak hanya demi meningkatkan kualitas rekan-rekan guru, namun juga meningkatkan kualitas kepribadian generasi muda peserta didik nasional. Salam!

Sumber:
https://www.quipper.com/id/blog/tips-trick/school-life/kompetensi-kepribadian-guru/
http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2005/14TAHUN2005UU.htm
https://kemenag.go.id/file/dokumen/PP1905.pdf
http://peraturan.go.id/pp/nomor-74-tahun-2008-11e44c4f529f36a0a226313232303239.html
http://www.jejakpendidikan.com/2016/12/kompetensi-kepribadian-guru-menurut-uu.html
http://pspk.web.id/kilas-pendidikan/kilas-pendidikan-edisi-7/
https://beritagar.id/artikel/telatah/profesi-guru-dalam-pendidikan
https://www.qureta.com/post/guru-pahlawan-perekat-kebangsaan
https://geotimes.co.id/opini/bangkit-membangun-bangsa/
https://beritagar.id/artikel/telatah/guru-pembawa-kesejukan

0 Comments

Posting Komentar